Waktu adalah berkah yang Tuhan berikan sama kepada semua orang, tanpa pandang bulu.
Apa yang akan kita lakukan dengan waktulah yang akan membuatnya berbeda.
Semua hal berlangsung dalam konteks waktu, termasuk proses alami perkembangan tubuh kita. Kebanyakan dari kita lebih memperhatikan hal ini, terutama dalam mengamati perkembangan bayi, keponakan atau cucu kita. Hal ini biasanya bahkan dimulai sejak kabar gembira kehamilan disampaikan kepada pasangan, orang tua, keluarga besar dan kawan-kawan. Tiap bertemu, ‘penonton’ ikut memperhatikan perut si ibu hamil, mulai dari ukurannya, bentuknya sampai gerakan-gerakan jabang bayi yang mulai dirasakan. Setelah dilahirkan, ‘penonton’ terus mengikuti perkembangan, lazimnya dengan menanyakan berat badan, tinggi dan kelengkapan tubuh si bayi. Setelah beberapa waktu, ‘penonton’ terus menanyakan kabar si bayi. Sehatkah ia? Makin tinggi atau gemukkah ia? Sudah bisa apa? Jujur, jarang kita menanyakan banyak senyumkah ia? Bahagiakah ia? Sedihkah ia? Tertekankah ia?
Uniknya, saat bayi beranjak menjadi anak kecil dan memasuki usia sekolah, banyak dari kita tidak lagi intensif menanyakan perkembangannya. Kelak, pertanyaan yang lazim muncul kembali dimulai dengan: ‘sudah wisuda kah ia, sudah punya kekasihkah ia, kapan menikah’, hingga pertanyaan seperti ‘kapan punya momongan’.
Dari hal-hal di atas, nyata bahwa kita banyak memperhatikan perkembangan orang lain. Sebagai orang tua pun, perhatian kita umumnya terserap pada dinamika membesarkan anak. Ironisnya, banyak dari kita jarang memperhatikan perkembangan diri. Perhatian pada diri sendiri –sayangnya-- baru muncul dalam kondisi yang sudah tidak mengenakkan, misalnya saat kita sakit keras atau sakit mendadak. Kita sering tidak peduli atau melewatkan fase dimana tubuh sesungguhnya telah mencoba ‘bicara’ kepada kita. Kita fokus kepada obyek di luar kita, sementara diri sendiri kurang mendapat perhatian.
Sebagai ayah dan ibu yang sedang fokus membesarkan anak atau bahkan jomblo (single) dewasa, banyak dari kita juga jarang memperhatikan orang tua kita. Saat beliau jatuh, mendadak sakit atau sakit keras, baru kita terkondisikan memperhatikan mereka lagi. Selain itu, kita juga relatif jarang memperhatikan hal-hal non-ragawi orang tua kita. Belakangan ini mungkin kita baru menyadari kalau kita jarang melihat orang tua kita tertawa. Kita jarang bercakap-cakap. Kita lebih sering ‘say hi’ hanya lewat telepon, tapi kurang ‘connected’. Giliran bertemu, ironisnya kita lebih banyak membicarakan keluhan atau masalah daripada membicarakan hal menyenangkan.
Mumpung masih diberi waktu, tidakkah anda ingin lebih memperhatikan jiwa raga anda sendiri? Bila diberkahi panjang umur, tidakkah anda ingin tua dalam keadaan sehat lahir batin? Mumpung orang tua anda belum berpulang, tidakkah anda ingin untuk memperhatikan dan memberikan kebahagiaan di sisa hidupnya? Berapa banyak teman anda yang orang tuanya telah berpulang sering mengingatkan, “Bahagiakan ibu bapakmu mumpung masih bersama, jangan seperti saya.” Mungkin yang paling sederhana caranya antara lain dengan tidak pernah bosan mengingatkan orang tua untuk menjaga asupan makanan, tetap berkegiatan sambil berhati-hati agar tidak jatuh (falling), proporsional menangani masalah hidup yang memang selalu ada, serta terus merawat kasih sayang dan komunikasi dengan anak cucu, pasangan, tetangga dan kawan-kawan lainnya. Satu lagi, mungkin dengan mencoba tidak membuat ‘ulah’ yang bisa membuat orang tua ikut pusing, stres dan tidak bahagia.
Untuk itulah, high-light kali ini akan sedikit berbeda; bukan tentang anak, melainkan tentang penuaan (aging). Topik ini dipilih mengingat dua hal. Pertama, proses penuaan secara alamiah dan bertahap telah kita rasakan. Proses yang tidak dapat diulang ini (irreversible) ini tidak kompromi dengan kata ‘penundaan’. Semakin dini kita berperilaku sehat, semakin tinggi potensi kualitas hidup yang baik di usia tua kelak. Dalam artikel Proses Menua anda akan lebih memahaminya sehingga anda dapat mengantisipasinya dan menghadapinya dengan lebih baik.
Kedua, orang tua kita telah memasuki usia lanjut. Kita dapat mewujudkan sayang kita pada mereka dengan ikut memperhatikan dan menjaga kualitas kehidupan mereka sehari-hari. Pencegahan Jatuh , sebuah artikel yang membantu mengenali resiko-resiko yang dapat menyebabkan orang tua kita terjatuh secara tidak sengaja dan tentu saja bagaimana menghindarinya. Dalam Masalah Kesehatan pada Usia Lanjut kami mengajak anda untuk mengenali permasalahan kesehatan yang membayangi para orang tua kita. Bantulah mereka untuk mengerti, menerima dan menghadapinya dengan baik. Terakhir, sebagai orang yang merawat orang tua tercinta kita, pastilah kita membutuhkan kesabaran, apalagi bila orang tua kita menderita Demensia. Kenalilah demensia, dan dapatkan tips-tips untuk merawat seorang penderita demensia.
Semuanya memerlukan waktu. Perkembangan atau penuaan adalah proses alamiah. Waktu sejatinya adalah berkah yang tidak dapat didahului, dipercepat, diperlambat atau dihentikan. Oleh karena itu, percayalah pada prinsip mencicil, dalam arti upaya hidup sehat lahir batin di masa tua harus mulai dijaga dari muda dan terus dirawat sepanjang masa. Semakin kita menunda upaya, semakin berkurang kesempatan kita menjadi tua sehat lahir batin. Mulailah rajin olah raga lagi, lebih menjaga asupan makan dan lebih menghargai hidup, daripada membeli produk yang mengaku anti-aging atau menyemir uban kita yang makin banyak. Tapi ini pilihan lho, bukan paksaan.
Tulisan-tulisan yang kami tampilkan lebih sebagai pengingat, memberikan informasi tentang hal-hal yang dapat mulai kita lakukan dan terus pertahankan. Besar harapan informasi tentang upaya-upaya pencegahan atau hal-hal yang patut kita waspadai akan memberikan manfaat, dan dapat segera kita terapkan mulai sekarang.
Jujur, kenyataannya tidak mudah bagi kita untuk melaksanakan niat di atas secara konsisten. Bila sedang lengah, cobalah mengingatkan diri lagi dengan kalimat sakti tadi, mumpung masih diberi waktu…..
Salam SEHAT!!!
0 komentar:
Posting Komentar